Desa selalu memiliki ceritanya sendiri. Suara angin yang menelusup dari sela pepohonan, aroma tanah basah yang menguat setiap kali hujan turun dan wajah-wajah jernih yang menyimpan mimpi masa depan. Di sebuah sudut pinggiran Kota Ngawi, di wilayah yang sejak dahulu dicap sebagai kawasan “seberang utara Bengawan Solo”, berdirilah sebuah sekolah dengan segala kesederhanaannya. Daerah ini pernah mendapat stigma negatif, bahkan pada masa Orde Baru dikenal sebagai wilayah IDT, Inpres Desa Tertinggal. Stigma itu sudah melekat sejak lama, seperti bayang-bayang yang terus mengikuti ke mana pun masyarakatnya melangkah. Dari dulu sampai sekarang.
Namun bagi para guru yang mengabdi di sana, khususnya bagi penulis yang memilih bersandar pada profesi pendidik di pinggiran kota, stigma hanyalah satu dari sekian batu kecil yang harus dilangkahi. Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Tidak ada alasan untuk menyesali tempat pengabdian. Pendidikan yang sesungguhnya tidak pernah diukur dari megahnya gedung, ramainya fasilitas kota, atau populernya nama sebuah sekolah. Pendidikan adalah urusan hati, tentang ketekunan, ketulusan, dan keyakinan bahwa kecemerlangan bisa tumbuh di mana saja, termasuk di desa yang sering diremehkan ini.
Ketika pertama kali ditempatkan mengajar di pinggiran kota Ngawi ini, banyak suara yang mengalun dari berbagai arah. Ada yang menasihati dengan nada kasihan, ada yang menyindir halus, ada pula yang terang-terangan mengatakan bahwa mengajar di wilayah “IDT” sama saja dengan mengubur karier. Seolah-olah profesi guru akan lebih gemilang bila berada di pusat kota, di sekolah favorit, atau di tengah keramaian. Namun, bagi sebagian guru, justru di tempat seperti inilah jiwa pendidik diuji. Bagaimana mungkin seseorang mengaku pendidik, bila ia memilih murid-muridnya hanya dari tempat yang dianggap mapan? Bagaimana seseorang dapat menyatakan dirinya pejuang pendidikan bila ia hanya ingin berada di tempat yang sudah nyaman, jauh dari tantangan?
Di pinggiran kota, para guru berhadapan dengan realitas yang tidak selalu ditampilkan di layar televisi. Anak-anak datang dengan berbagai latar belakang keluarga. Sebagian membantu orang tua di sawah sebelum berangkat sekolah, sebagian lain mengurus adik-adik karena kedua orang tua harus bekerja. Tidak jarang ada pula yang berangkat dengan sandal tipis atau sepatu robek, tetapi tetap membawa mimpi besar saat mereka ditemani guru-guru pejuang. Di sinilah seorang guru menyadari bahwa stigma “tertinggal” sebetulnya hanyalah istilah yang diciptakan oleh mereka yang tidak pernah melihat lebih dekat. Di balik label yang mengekang itu, tersimpan keteguhan dan kegigihan. Ada semangat untuk tumbuh. Ada usaha yang terus berjalan. Dan seorang guru yang mengajar di tempat seperti ini, tidak pernah boleh merasa kecil. Sebab ia mengisi ruang yang sangat besar. Yaitu ruang kebutuhan, ruang harapan dan ruang masa depan.
Waktu berlalu, dan perlahan wajah pendidikan di sekolah pinggiran ini mulai berubah. Datanglah beberapa guru muda, membawa aroma semangat baru yang sebelumnya tidak pernah terasa sekuat ini. Mereka datang bukan dengan sikap menggurui atau menonjolkan diri, tetapi dengan kesederhanaan khas generasi yang idealis. Yakni ingin berkarya, ingin berbagi, ingin membuktikan bahwa pendidikan bermutu tidak hanya milik kota. Guru-guru muda ini menghadirkan warna yang berbeda. Gaya berpakaian mereka yang fashionable, rapi, dan penuh energi memberi kesan baru. Bukan tentang kemewahan, tetapi tentang rasa percaya diri. Anak-anak pun ikut bangga. “Guru-guru kami tidak kalah dengan guru di kota!” kata mereka dengan mata berbinar.
Lebih dari itu, para guru muda belum tersentuh oleh ambisi berebut jabatan. Mereka hadir untuk bekerja, bukan untuk bersaing tidak sehat. Mereka mengajar dengan hati lapang, saling membantu, saling menguatkan. Keharmonisan semacam ini bukan sesuatu yang mudah ditemukan di sekolah-sekolah kota, tempat persaingan kadang jauh lebih nyata daripada semangat berbagi.
Ada sesuatu yang istimewa dari jiwa muda. Masih penuh idealisme, masih percaya bahwa perubahan dapat dimulai dari diri mereka sendiri. Mereka berkata, “Boleh tempatnya di desa, tetapi mutu pembelajaran harus kota.” Kalimat itu terus terngiang, menjadi semboyan, menjadi motivasi. Mereka memahami bahwa perbedaan antara kota dan desa hanyalah soal sebutan. Banyak tokoh besar, pemimpin bangsa, seniman, penemu, dan orang-orang berpengaruh justru berasal dari desa, dari tempat yang dianggap kecil, tetapi menyimpan kekuatan besar.
Minim pengalaman tidak menjadi kendala. Justru minim pengalaman dipertemukan dengan maksimal semangat menjadi kombinasi paling memukau. Desa menjadi panggung bagi semangat itu untuk tumbuh, berkembang, dan bersinar.
Salah satu tantangan terbesar di sekolah pinggiran adalah keterbatasan sarana. Namun tantangan bukan untuk dihindari, tantangan adalah undangan untuk berjuang. Dalam beberapa tahun terakhir, sekolah mulai melakukan upgrade sarana pendidikan, walau langkahnya perlahan. Yang terpenting adalah langkahnya tidak berhenti. Lalu datanglah satu momen yang mengubah segalanya. Hadirnya smart whiteboard interaktif, sebuah perangkat modern yang sebelumnya hanya bisa ditemukan di sekolah-sekolah kota atau sekolah swasta yang mapan. Perangkat itu seolah menghadirkan dunia baru dalam ruang pembelajaran.
Hanya sehari setelah alat itu dipasang, seluruh guru mengikuti pelatihan. Tidak ada yang merasa terlalu tua untuk belajar, tidak ada yang malu mengakui bahwa mereka masih harus banyak belajar teknologi. Semua bergerak bersama, saling mengajari, saling menguatkan. Keesokan harinya, perangkat itu langsung digunakan dalam pembelajaran. Hal yang paling membahagiakan adalah melihat wajah para murid. Mereka takjub. Mereka merasa seakan dunia mengecil, seakan batas-batas geografis lenyap begitu saja. “Ibarat dunia hanya selebar daun kelor,” gumam salah satu guru.
Dengan smart board, guru dan murid bisa menjelajahi museum di luar negeri, melihat peta dunia dalam sekejap, mempelajari gerak planet, atau menonton eksperimen sains dari laboratorium-laboratorium terbaik. Guru senang. Murid senang. Dan bila keduanya bahagia dalam proses belajar, maka mutu pembelajaran akan melonjak tanpa perlu diperintah. Perangkat itu bukan hanya alat, melainkan jendela pengetahuan. Sekolah yang dulu dianggap “tertinggal” kini memiliki fasilitas yang membuat siapa pun harus menoleh. Desa menunjukkan bahwa ia bisa mengejar, bahkan melampaui ekspektasi.
Semua perubahan tidak akan berjalan tanpa kehadiran pemimpin yang menggerakkan. Di sekolah ini, hadir seorang pemimpin yang tidak hanya memimpin dengan instruksi, tetapi dengan teladan. Beliau mampu menggugah para guru senior yang sebelumnya merasa nyaman dengan rutinitas lama. Dengan pendekatan yang lembut tetapi tegas, beliau mengatakan bahwa pendidikan tidak boleh berhenti di zona nyaman. Salah satu gagasan terbesar yang beliau usung adalah gerakan literasi. Literasi tidak hanya tentang membaca dan menulis, tetapi tentang keberanian menerapkan pengetahuan dalam kehidupan nyata, tentang kemampuan memecahkan masalah, tentang kemampuan mengolah informasi menjadi keputusan yang bijak. Gerakan literasi itu menyulut seluruh warga sekolah. Guru dan murid setiap Rabu dan Kamis pagi terlibat. Website sekolah dipenuhi karya yang membuka mata, hati dan pikiran. Kegiatan literasi tidak hanya menjadi acara seremonial, tetapi menjadi budaya yang tumbuh dari dalam dalam meraih keberhasilan. Indikator keberhasilannya pun nyata. Nilai rapor sekolah pada Platform Merdeka Mengajar (PMM) meningkat. Bukan sekadar angka, tetapi bukti bahwa sekolah desa mampu mencapai standar nasional dengan usaha bersama. Pemimpin inspiratif itu telah menyalakan api. Api itu kemudian menjalar ke setiap diri, menyalakan semangat untuk terus membaik, terus berkembang, terus mencipta. Guru dan murid mencipta karya menuju keabadian. Pada tahap ini, literasi tidak lagi hanya menjadi program, tetapi telah menjadi denyut nadi sekolah. Guru dan murid mulai terbiasa menuangkan gagasan dalam tulisan. Mereka menulis tentang pengalaman, harapan, impian, cerita-cerita fiksi, hingga refleksi pribadi. Tulisan mereka dikumpulkan, disunting, dan kemudian dibukukan. Buku itu diberi judul “Antologi Sehari Merangkai Kata.” Judul yang sederhana tetapi sarat makna. Karya itu adalah bukti nyata bahwa literasi telah tumbuh subur. Penulisnya bisa pergi, tetapi karyanya tidak akan ikut pergi. Buku itu akan tetap tersimpan di perpustakaan sekolah, menjadi warisan berharga untuk generasi berikutnya.
Proses menuju peluncuran buku itu bukan perkara mudah. Dimulai dari semarak Bulan Bahasa di bulan Oktober, ketika seluruh siswa dan guru diminta menulis. Hingga akhirnya, pada perayaan Hari Guru tanggal 25 November 2025, buku antologi itu diluncurkan dalam sebuah resepsi yang tidak biasa. Resepsi yang begitu bergengsi, yang belum banyak dilakukan oleh sekolah di Ngawi. Sekolah kota sekalipun.
Guru-guru merasa bangga. Mereka pulang membawa satu buku untuk keluarga masing-masing. Ada yang memperlihatkannya kepada suami atau istri, ada yang menunjukkan kepada anak-anak mereka, ada pula yang memamerkan kepada orang tua mereka. Semua merasakan kebahagiaan yang sama. Hasil kerja keras mereka kini berwujud nyata, terjilid rapi, dan dapat dipegang dengan tangan.
Acara itu meninggalkan jejak mendalam. Ia bukan hanya selebrasi karya, tetapi juga simbol kebangkitan. Guru tidak hanya mengajar. Guru kini mencipta. Murid tidak hanya mendengar. Mereka berkarya. Dan sekolah ini telah melangkah ke tempat yang jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan. Harapannya sederhana, tetapi dalam. Semoga karya itu menginspirasi pembaca. Sebab pendidikan selalu bermula dari inspirasi. Dan inspirasi tidak harus datang dari kota. Inspirasi bisa lahir dari desa kecil di pinggiran kota Ngawi, dari tempat yang dulu dianggap tertinggal, dari ruang kelas sederhana yang berisi hati-hati besar.
Pada akhirnya, hanya ada satu kalimat yang dapat merangkum semangat perjalanan panjang ini. Guru hebat, Indonesia kuat. (Pitu, 27 November 2025)
Komentar
Belum ada komentar.