Siswa-siswi SMP Merdeka sedang bersiap untuk memperingati Hari Pahlawan. Hari itu, tanggal 10 November, suasana sekolah begitu meriah: bendera merah putih berkibar di mana-mana, lagu “Hari Merdeka” menggema dari pengeras suara, dan para siswa sibuk mempersiapkan acara pementasan tentang pahlawan Indonesia.
Namun di antara keramaian itu, ada seorang murid kelas 7 bernama Alya. Ia dikenal pendiam dan pemalu. Di kelas, ia jarang mengangkat tangan untuk berbicara. Dalam kelompok, ia lebih suka menjadi penulis atau penggambar ketimbang tampil di depan. Dalam hatinya, Alya sering berpikir, “Aku tidak sepandai mereka berbicara. Aku tidak seberani teman-teman.”
Menjelang Hari Pahlawan, guru IPS mereka, Bu Rani, memberikan tugas khusus:
“Setiap kelompok harus membuat pameran mini tentang satu tokoh pahlawan Indonesia, lengkap dengan poster dan pementasan singkat.”
Kelompok Alya mendapat tokoh Cut Nyak Dien, pahlawan perempuan dari Aceh yang gigih melawan penjajah Belanda. Alya merasa tertarik, ia kagum dengan kisah keberanian Cut Nyak Dien yang terus berjuang meski kehilangan suami dan hidup di pengasingan. Namun saat pembagian tugas, Alya langsung berkata,
“Aku bantu bikin posternya saja ya, aku nggak bisa tampil.”
Teman-temannya mengangguk, karena mereka tahu Alya memang pemalu. Maka Alya pun mulai menggambar wajah Cut Nyak Dien dengan penuh ketelitian, sorot mata tegas, kain kerudung sederhana, dan latar gunung-gunung Aceh. Ia ingin lukisan itu menunjukkan keteguhan hati seorang perempuan pemberani.
Beberapa hari kemudian, latihan pementasan dimulai. Mereka butuh pemeran utama untuk memerankan Cut Nyak Dien. Beberapa teman mencoba, tetapi belum ada yang cocok. Suara mereka kurang kuat, ekspresi belum tegas. Lalu, tanpa sengaja, Dito, ketua kelompok menunjuk Alya.
“Al, kamu kan paling ngerti kisahnya. Coba kamu aja yang jadi Cut Nyak Dien.”
Alya langsung menunduk, wajahnya memerah.
“Aku? Nggak bisa, Dit. Aku pasti grogi di depan orang.”
Namun malam itu, saat ia menatap posternya di kamar, matanya berhenti di tulisan kecil di bawah lukisan:
“Perjuanganku belum berakhir.” Cut Nyak Dien
Kata-kata itu seolah berbicara langsung kepadanya. Kalau Cut Nyak Dien saja berani melawan penjajah dengan risiko ditangkap dan diasingkan, masa aku takut cuma berdiri di panggung sekolah? pikir Alya pelan.
Keesokan harinya, pemeran utama tiba-tiba tidak masuk karena sakit. Semua panik. Pak Budi mendesak kelompok mereka untuk tetap tampil karena waktu sudah mepet. Alya menatap teman-temannya yang kebingungan, lalu mengangkat tangan perlahan.
“Pak, saya… saya mau coba.”
Semua terkejut, tapi segera memberi semangat. Selama latihan, Alya berusaha menahan rasa takutnya. Kadang ia lupa dialog, kadang suaranya kecil. Namun setiap kali ingin menyerah, ia mengingat sosok Cut Nyak Dien yang tak gentar di tengah hutan Aceh, meski dalam kelaparan dan kehilangan.
Hari pementasan pun tiba. Aula sekolah dipenuhi guru, siswa, dan orang tua. Saat gilirannya tiba, lampu sorot menyoroti panggung. Alya berdiri tegak, mengenakan pakaian adat Aceh dan selendang hitam. Ia memerankan adegan ketika Cut Nyak Dien menolak menyerah meski pasukannya semakin sedikit. Dengan suara lantang yang menggema ke seluruh ruangan, ia berkata:
“Selama darah masih mengalir di tubuhku, aku tidak akan menyerah pada penjajah!”
Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Alya. Di akhir adegan, tepuk tangan bergemuruh. Beberapa guru bahkan meneteskan air mata. Alya tersenyum, bukan karena ia dipuji, tetapi karena ia baru saja menemukan keberanian dalam dirinya sendiri.
Sejak hari itu, Alya berubah. Ia masih pendiam, tapi tidak lagi menutup diri. Ia mulai berani menyampaikan pendapat di kelas, ikut lomba poster kemerdekaan, dan membantu adik kelas yang gugup tampil di depan umum. Saat seseorang memuji posternya, ia hanya tersenyum dan berkata,
“Aku belajar dari Cut Nyak Dien. Kadang kita harus melangkah dulu, baru rasa berani itu datang.”
Beberapa bulan kemudian, Alya ditunjuk menjadi pemimpin upacara pada peringatan Hari Kartini. Meski sempat gugup, ia menjalankan tugas dengan percaya diri. Saat bendera Merah Putih naik perlahan, Alya menatapnya dengan bangga. Ia tahu keberanian tidak datang sekaligus, tapi tumbuh sedikit demi sedikit, seperti langkah kecil menuju berani.
𝗣𝗲𝗺𝗮𝗵𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗳𝗹𝗲𝗸𝘀𝗶
1. Apa alasan Alya awalnya tidak mau tampil di pementasan sekolah?
2. Apa yang membuat Alya akhirnya berani memerankan tokoh Cut Nyak Dien?
3. Bagaimana perubahan perilaku Alya setelah tampil di pementasan?
4. Apa pesan moral yang dapat diambil dari kisah Alya dan Cut Nyak Dien?
5. Pernahkah kamu merasa takut mencoba hal baru, tapi akhirnya berani melakukannya? Ceritakan pengalamannya.
6. Jika kamu berada di posisi Alya, apa yang akan kamu lakukan ketika diminta tampil di depan umum?
7. Setelah membaca kisah ini, hal apa yang ingin kamu ubah atau tingkatkan dalam dirimu agar lebih berani dan bertanggung jawab?
Komentar
Pengorbanan ..keberanian ...ketegasan ...memberi inspirasi.
Selamat sang pemberani langkah awal menuju kesuksesan dari sini mungkin akan terwujud suatu tujuan yg masih dalam angan2, semangat melangkah terus maju
Selamat sang pemberani langkah awal menuju kesuksesan dari sini mungkin akan terwujud suatu tujuan yg masih dalam angan2, semangat melangkah terus maju
Selamat sang pemberani langkah awal menuju kesuksesan dari sini mungkin akan terwujud suatu tujuan yg masih dalam angan2, semangat melangkah terus maju
Literasi yang bagus dan menginspirasi orang lain..
literasi nya sangat bagus sampai tidak bisa berkata kata😵😧
gege
Good joob👍🏻
Good joob👍🏻
literasi yang sangat baguss 👍
literasi yang sangat menarik ✊