Sinar pagi hari baru saja menyapa, tapi Budi sudah terjaga. Di rumah kayu kakeknya, ia bangun sendirian—tanpa suara ibu maupun ayah yang membangunkannya, tanpa aroma sarapan yang menunggu kehadirannya. Hanya dingin pagi dan nyanyian ayam yang menemaninya bersiap berangkat ke sekolah. Setiap hari, Budi memakai sendiri seragam yang mulai pudar warnanya, menyisir rambut di depan cermin retak, lalu berangkat dengan perut kosong tanpa bekal. Saat berangkat sekolah kadang ia beruntung mendapat tumpangan dari tetangga yang lewat dengan sepeda motor, tapi sering kali ia harus menempuh perjalanan empat kilometer dengan berjalan kaki.
Kedua orang tua Budi merantau ke luar negeri sejak ia duduk di kelas empat SD. Uang kiriman tak selalu datang tepat waktu, tapi ia tidak pernah menyalahkan keadaan. Ia hanya berkata dalam hati: “Kalau ingin melihat pelangi, aku harus sanggup melewati hujan.”
Di sekolah, ia belajar dengan sungguh-sungguh. Walau perutnya sering kosong, pikirannya selalu penuh dengan mimpi. Ia percaya, pendidikan adalah jalan keluar dari semua keterbatasan.
Suatu hari, gurunya memuji ketekunannya. “Budi, kamu membuktikan pepatah lama: ‘Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.’ Tidak semua anak mampu bertahan sekuat kamu.”
Budi hanya tersenyum kecil. Ia tidak belajar untuk pujian, tapi untuk masa depan. Setiap malam ia belajar di bawah cahaya lampu minyak, menuliskan rumus dan harapan di kertas yang sama. Ia tahu, tak ada jalan mudah bagi anak yang berjuang sendiri.
Waktu berlalu. Usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil menjadi juara umum sekolah dan lolos beasiswa di sekolah favorit. Saat nama Budi diumumkan di aula sekolah, semua guru berdiri memberi tepuk tangan. Namun di balik kebanggaan itu, matanya berkaca-kaca.
“Ini bukan hanya hasil belajar,” bisiknya, “tapi hasil dari setiap langkah kaki yang tak pernah menyerah.”
Ketika ia pulang, nenek dan kakeknya menatap piala di tangan Budi sambil tersenyum lirih.
“Nak,” katanya, “Jika tidak dipecahkan, ruyung mana boleh mendapat sagunya. Kamu sudah membuktikan bahwa kerja keras selalu menemukan jalannya.”
Budi memandangi langit senja di atas rumah tua itu. Ia tahu, meski hidupnya sering hampa dan sepi, ia telah menjadi pelita bagi dirinya sendiri — cahaya kecil yang lahir dari hati yang tak pernah padam.
𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗳𝗹𝗲𝗸𝘀𝗶
1. Bagaimana perjuangan Budi menggambarkan makna dari kerja keras dan ketekunan?
2. Apa yang membuat Budi tetap semangat meski hidupnya penuh keterbatasan?
3. Bagaimana pepatah “Jika tidak dipecahkan, ruyung mana boleh mendapat sagunya” tercermin dalam kisah Budi?
4. Apa peran pendidikan dalam mengubah nasib seseorang seperti Budi?
5. Jika kamu berada di posisi Budi, apa yang akan kamu lakukan untuk tetap kuat dan tidak menyerah?
Komentar
literasi baguss
Tiada kenangan yang pahit atau indah..untuk menggapai cita cita ...semangat dan ketekunan serta tekatnyang bulat akan membawa keindahan di masa depan
asalamualaikum