REFLEKSI PAK FARID

Penulis: Fajar Budhianto | 29 Aug 2025 | Pengunjung: 74
Cover
Pak Farid adalah seorang guru SMP yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun. Selama ini ia selalu merasa sudah mengajar dengan sungguh-sungguh. Ia menyiapkan materi, menjelaskan panjang lebar, bahkan memberi contoh-contoh di papan tulis. Namun, suatu hari, semua keyakinannya runtuh.

Hari itu adalah hari pembagian hasil ujian tengah semester. Satu per satu lembar jawaban ia periksa. Semakin banyak kertas yang ia lihat, semakin berat rasanya napasnya. Banyak nilai yang jauh dari KKTP. Yang lebih menyedihkan, ia tahu betul murid-muridnya bukan anak-anak yang malas. Mereka sebenarnya mau belajar… tetapi entah mengapa, hasilnya tetap rendah.

Sore itu, setelah bel pulang berbunyi dan sekolah mulai sepi, Pak Farid duduk di ruang guru. Ia memandang kosong ke papan tulis yang masih penuh coretan pelajaran hari ini. “Apa yang salah denganku? Mengapa mereka tidak paham?” gumamnya lirih. Ia merasa gagal. Bukan hanya gagal mengajarkan materi, tapi gagal menjaga semangat belajar murid-muridnya.

Malamnya, di rumah, ia tidak langsung tidur. Ia mengambil sebuah buku catatan, lalu mulai menulis. Ia mencoba mengingat pelajaran demi pelajaran yang sudah ia sampaikan. Ia sadar, selama ini ia terlalu mendominasi kelas. Murid-murid lebih banyak mendengarkan, mencatat, lalu menghafal. Jarang sekali ia memberi kesempatan mereka bertanya, berdiskusi, atau mencoba menemukan jawaban sendiri. Pelajaran terasa kaku… dan mungkin membosankan bagi mereka.

Keesokan harinya, dengan perasaan berat, ia memberanikan diri untuk berbicara kepada Bu Rina, rekan sejawat yang terkenal kreatif. Ia menceritakan kegagalannya, menunjukkan nilai-nilai ujian, dan mengakui kesalahannya dalam mengelola pembelajaran. Bu Rina mendengarkan dengan penuh empati. “Farid,” katanya lembut, “tidak ada guru yang sempurna. Kita semua pernah gagal. Tapi yang penting adalah, kita mau belajar dari kegagalan itu. Coba libatkan murid dalam belajar. Biarkan mereka aktif, biarkan mereka mencoba, salah, lalu memperbaiki. Jangan hanya kamu yang bercerita… beri mereka panggung.”
Ucapan itu membuat hati Pak Farid bergetar. Ia pulang dengan tekad baru. Minggu berikutnya, ia mencoba metode pembelajaran berbasis proyek. Murid dibagi dalam kelompok kecil. Setiap kelompok diberi tantangan untuk membuat sebuah karya yang menjawab masalah nyata di sekitar mereka, sesuai materi yang sedang dipelajari.

Awalnya, murid-murid bingung. Mereka terbiasa hanya menerima instruksi, bukan mencari sendiri. Tapi perlahan, rasa ingin tahu mereka muncul. Mereka mulai bertanya, berdiskusi, bahkan mencari informasi lewat buku dan internet. Kelas yang dulu sunyi kini riuh dengan suara ide. Pak Farid berjalan dari satu kelompok ke kelompok lain, mendengar pendapat mereka, memberi arahan seperlunya, dan membiarkan mereka berkembang.

Hari presentasi tiba. Satu per satu kelompok maju, memamerkan hasil kerja mereka. Ada yang membuat poster, ada yang mempresentasikan hasil riset kecil-kecilan, ada pula yang membuat simulasi. Pak Farid tertegun. Ia melihat murid-murid yang biasanya pendiam kini berbicara dengan percaya diri. Wajah mereka berbinar, seolah berkata, “Kami bisa, Pak!”

Ketika ujian berikutnya digelar, hasilnya jauh lebih baik. Nilai meningkat, tetapi yang lebih membahagiakan bagi Pak Farid adalah melihat semangat baru di mata murid-muridnya. Mereka tidak lagi takut bertanya. Mereka berani mencoba, meski salah. Dan mereka bangga dengan pencapaian mereka sendiri.
Pak Farid akhirnya mengerti… kegagalan bukanlah akhir, melainkan undangan untuk berbenah. Refleksi yang ia lakukan, dan dukungan dari rekan sejawat, telah mengubah cara pandangnya. Kini ia sadar, menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tapi juga soal terus belajar. Belajar memahami murid, belajar beradaptasi dengan zaman, dan belajar memperbaiki diri.

Sejak hari itu, setiap kali ia merasa pembelajaran tidak berjalan sesuai rencana, ia tidak lagi putus asa. Ia memilih untuk duduk, merenung, dan berdiskusi dengan teman sejawat. Karena ia tahu, guru yang mau berubah… akan menumbuhkan murid yang mau berkembang. Dan itulah keberhasilan sejati seorang pendidik.

Komentar

Nurwahyudi Agustiawan 2025-08-29 20:55:20

Bahasa tubuh murid sebagai umpan balik saat pembelajaran berlangsung. Guru tentu tanggap dengan bahasa tubuh bosan, jenuh dan tidak tertarik. Kemudian mengatasinya dengan cara yang lain.

ABDUL GOFFAR 2025-08-29 16:00:14

Refleksi merupakan kunci utama bagi setiap pendidik untuk menemukan arah perbaikan. Pak Farid menyadari kelemahan pembelajaran yang terlalu berpusat pada guru, dan dari kesadaran itulah lahir perubahan. Kehadiran Bu Rina menegaskan bahwa kolaborasi antarguru adalah sumber inspirasi yang mampu membuka jalan keluar; seorang guru tidak pernah berjalan sendirian.\r\nTransformasi dari metode ceramah menuju Project-Based Learning menjadi titik balik yang membangkitkan semangat belajar murid, menumbuhkan rasa percaya diri, serta melatih keterampilan berpikir kritis mereka. Nilai yang semula rendah justru menjadi momentum lahirnya inovasi. Dari kegagalan, tumbuhlah pembelajaran yang lebih bermakna dan dari refleksi, lahirlah pendidik yang terus belajar serta menumbuhkan anak didik sebagai generasi yang siap berkembang.\r\n

ARIS RAHMAN SURYONO, S.Pd 2025-08-29 14:07:55

Sebagai guru jangan berputus asa , selalu berusaha membangkitkan motivasi dan semangat untuk belajar dan belajar memperbaiki proses pembelajaran.

← Kembali ke Daftar Artikel