Kisah Ardi dan Sintia

Penulis: Fajar Budhianto | 20 Aug 2025 | Pengunjung: 801
Cover
Ardi Kurniawan adalah seorang siswa kelas 9 SMP Merdeka. Usianya baru 15 tahun, tetapi hatinya mulai mengenal rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Setiap kali melihat seorang siswi kelas 8 bernama Sintia Nirwana, dadanya berdegup lebih kencang. Ada sesuatu dalam diri Sintia yang membuatnya nyaman, senyumnya yang lembut, sikapnya yang sopan, dan tutur katanya yang ramah.

Setiap hari, Ardi selalu mencari-cari cara agar bisa dekat dengan Sintia. Kadang pura-pura lewat di depan kelasnya, kadang sengaja menunggu di depan perpustakaan hanya untuk menyapa sebentar. Namun, keberanian untuk benar-benar berbicara dari hati ke hati belum juga muncul.
Hingga suatu siang sepulang sekolah, setelah berhari-hari menimbang, Ardi memberanikan diri. Dengan suara agak bergetar, ia menghampiri Sintia yang sedang menunggu jemputan.

“Eh… Sintia, Minggu besok…mau nggak jalan-jalan sama aku?” tanya Ardi dengan wajah sedikit memerah.Sintia menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Jalan-jalan? Hmm… kalau mau main, datang aja ke rumahku. Biar ketemu sama Ayah dan Ibu juga.”
Jawaban itu membuat hati Ardi melompat kegirangan. Meski bukan seperti yang ia bayangkan, tetap saja ini kesempatan emas.

Hari Minggu pun tiba. Ardi bersiap dengan pakaian terbaik yang ia punya, kemeja biru yang baru disetrika ibunya. Ia merapikan rambut, mematut diri di cermin, dan berusaha menenangkan degup jantungnya.
“Semoga Ayah dan Ibu Sintia baik orangnya,” gumamnya sambil mengayuh sepeda menuju rumah Sintia.

Sesampainya di sana, ia disambut ramah. Ayah Sintia, seorang pria berwajah teduh, mempersilakan Ardi duduk. Ibu Sintia pun tampak hangat menyiapkan minuman. Ardi merasa gugup, tapi berusaha sopan.

Setelah cukup basa-basi, Ardi pun menyampaikan maksudnya. “Pak, Bu… saya mau ajak Sintia jalan-jalan sebentar, kalau diizinkan.”
Ayah Sintia tersenyum. “Nak Ardi, terima kasih sudah sopan datang dan minta izin. Tapi menurut Bapak, lebih baik kalian tidak pergi berdua. Masih muda, lebih baik gunakan waktu untuk belajar dan bergaul sehat dengan banyak teman. Jalan-jalan boleh, tapi ramai-ramai, bukan berdua.”
Sintia pun mengangguk setuju. “Iya, Ardi. Aku ikut pendapat Ayah.”
Meskipun hatinya sedikit kecewa, Ardi berusaha menerima dengan lapang dada. Mereka pun berbincang sebentar sebelum Ardi akhirnya pamit pulang.

Sesampainya di rumah, Ardi masih merasa gelisah. Keinginannya untuk lebih dekat dengan Sintia tak terbendung. Malam itu, ia memberanikan diri mengirim pesan WhatsApp.
“Sin, sebenarnya aku suka sama kamu.”
Pesan itu terkirim. Jantung Ardi berdegup kencang menunggu balasan. Tak lama, Sintia membalas, “Ardi, aku cerita dulu ke Ayah dan Ibu ya.”
Jawaban itu membuat Ardi makin cemas. Beberapa saat kemudian, Sintia mengabarkan bahwa orang tuanya sudah tahu.
“Ardi,” tulis Sintia, “Ayah dan Ibu bilang sebaiknya kita berteman saja. Tidak usah pacaran. Kita masih SMP, lebih baik fokus sekolah dan menjaga persahabatan. Aku nurut sama orang tuaku.”
Ardi terdiam. Pesan itu terasa seperti palu yang memukul hatinya. Rasa kecewa menyelimuti. Ia merasa semua keberaniannya sia-sia.

Malam itu, Ardi termenung lama. Dalam hatinya muncul monolog, “Kenapa ya, aku selalu gagal? Aku cuma ingin dekat dengan Sintia… Apa aku terlalu cepat? Apa aku salah langkah?”
Namun perlahan, kata-kata bijak Ayah Sintia kembali teringat. “Lebih baik gunakan waktu untuk belajar dan bergaul sehat dengan banyak teman.”
Ardi mulai berpikir lebih jernih. “Iya juga. Aku masih SMP. Masih banyak cita-cita yang harus aku kejar. Kalau aku terus larut dalam rasa kecewa, aku malah rugi sendiri.”

Keesokan harinya di sekolah, Ardi tetap menyapa Sintia dengan ramah. Ia berusaha biasa saja, meski hatinya masih terasa perih. Namun ia sadar, menjaga persahabatan jauh lebih berharga daripada memaksakan perasaan.
Hari demi hari berlalu. Ardi fokus pada pelajaran, ikut kegiatan ekstrakurikuler, dan menjalin pertemanan yang luas. Ia mulai merasakan bahwa rasa suka itu bisa menjadi energi positif bila diarahkan dengan benar. Ia jadi lebih bersemangat belajar, lebih rajin membantu orang tua, dan lebih percaya diri menghadapi masa depan.

Suatu sore, Ardi menulis di buku catatannya:
“Rasa suka itu wajar. Tapi aku belajar, tidak semua rasa harus segera diwujudkan. Ada waktu yang tepat untuk segala hal. Yang penting sekarang aku membangun diriku, agar suatu hari aku benar-benar siap. Dan aku bersyukur pernah belajar dari Sintia dan keluarganya.”

Ardi pun tersenyum kecil. Meski sempat kecewa, kini ia merasa lebih dewasa. Ia belajar bahwa cinta di usia muda seharusnya menjadi motivasi, bukan beban.

Jawablah pertanyaan di bawah ini !
1. Apa yang membuat Ardi akhirnya bisa menerima keputusan orang tua Sintia, meskipun awalnya ia kecewa?
2. Bagaimana perasaan suka pada masa remaja bisa menjadi energi positif untuk berkembang, bukan malah menghambat?
3. Mengapa penting bagi remaja untuk mendengarkan nasihat orang tua dalam hal pertemanan dan perasaan?
4. Apa yang bisa kita pelajari dari sikap Sintia yang memilih menurut dan menghormati keputusan ayah dan ibunya?
5. Jika kamu berada di posisi Ardi, apa yang akan kamu lakukan agar tetap menjaga persahabatan tanpa merusak hubungan karena perasaan pribadi?

Komentar

PUTRI RAHMADANI 2025-08-20 07:56:24

LITERAKSI INI SANGAT MENARIK DAN MENYENAGKAN

Nathan is good 2025-08-20 07:49:46

Literasi nya sangat bagus

Orang orangan sawah 2025-08-20 07:36:18

\r\nTumbas ne mie ayam pak

Ari Iskandar 2025-08-20 07:29:24

Sebuah cerita yang sangat bagus Mendidik sikap.karakter yang wajib di contoh .

Nellzhi 2025-08-20 07:22:12

Wow

. 2025-08-20 06:40:14

Literasi yang saya suka😃😃

Ucup Tour 2025-08-20 05:24:02

Tetaplah Bersahabat...\r\nKrn sahabat itu ibarat bintang kadang terlihat kadang tidak...tapi dia selalu ada untukmu

← Kembali ke Daftar Artikel