Langit pagi di SMP Merdeka cerah, tapi suasana hati Danang justru mendung. Ia berjalan santai menuju gerbang sekolah sambil menguap lebar. Matanya sedikit sayu, entah karena tidur larut atau sekadar malas memulai hari. Di pundaknya, tas sekolah menggantung lesu, seolah tak berisi apa-apa.
Begitu bel masuk berbunyi, Danang sudah mulai menghitung waktu. “Pelajaran pertama cuma setengah jam, habis itu aku bisa keluar. Lagian, siapa juga yang mau dengerin ceramah Bu Rina soal disiplin?” batinnya sambil menatap keluar jendela.
Sejak awal semester, Danang memang terkenal sebagai “raja bolos”. Bagi sebagian temannya, ia adalah sosok pemberani yang berani melawan guru. Tapi di dalam hati, sebenarnya ia sering merasa bosan, hampa, dan tidak tahu apa yang ia cari. Ia hanya tahu satu hal: duduk di kelas membuatnya gelisah.
Jam istirahat kedua, kesempatan itu datang. Dua temannya memberi kode dengan anggukan kepala.
“Gas, Nang?” bisik salah satunya.
Danang tersenyum miring. “Gaslah. Aku udah nggak kuat dengerin matematika.”
Mereka keluar lewat gerbang belakang, melangkah cepat menuju taman kota. Angin siang berhembus panas, membuat dedaunan bergoyang malas. Di taman, beberapa orang duduk di bangku panjang, pedagang kaki lima sibuk melayani pembeli, dan anak-anak kecil tertawa riang.
Danang membeli es teh, duduk di tepi trotoar, dan menyeruput pelan. “Nah, ini baru hidup. Adem, bebas, nggak ada guru cerewet,” gumamnya dalam hati.
Namun ketenangan itu pecah saat suara teriakan memecah udara. Di sisi lain taman, dua anak berseragam SMP berbeda saling dorong dan pukul. Wajah mereka memerah, napas terengah, tangan terangkat tinggi siap menghantam. Orang-orang berkerumun, sebagian mencoba melerai, sebagian lagi hanya menonton.
“Berhenti! Jangan berantem!” teriak seorang bapak, tapi kedua anak itu tak menghiraukan.
Danang berdiri, ikut menonton dari kejauhan. Jantungnya berdebar saat melihat pukulan demi pukulan mendarat. Lalu—
Wiuu… wiuu…
Sirene polisi terdengar semakin dekat. Mobil patroli berhenti tepat di depan kerumunan. Dua petugas turun, wajah mereka tegas, langkahnya mantap. Salah satu polisi menahan pundak salah satu anak, memisahkannya dengan kasar. Anak itu meronta, tapi tak berdaya. Tangan mereka kemudian digiring ke mobil, diikuti tatapan ratusan mata yang memandang sinis.
Danang menelan ludah. Dari tempatnya berdiri, ia melihat jelas wajah salah satu anak itu—pucat, berkeringat, matanya kosong, seolah tahu masa depannya bisa berubah hanya karena satu kesalahan.
Telinga Danang menangkap bisikan orang-orang.
“Kasihan, masa depan mereka habis kalau sampai catatan polisi.”
“Orang tuanya pasti malu banget.”
Kata-kata itu menghantam keras dadanya. “Kalau itu aku gimana? Aku yang sering bolos, aku yang sering keluar pas jam pelajaran… kalau ketahuan polisi atau guru, muka Ibu sama Bapak pasti tertunduk. Aku nggak sanggup lihat itu.”
Pulang ke sekolah, Danang melangkah lambat. Teman-temannya masih tertawa-tawa, tapi pikirannya dipenuhi bayangan ibu yang setiap malam menunggu di rumah, menatapnya dengan mata penuh harap. Ia ingat ucapan ibunya, “Nak, jangan bikin malu keluarga. Kami cuma mau kamu jadi anak baik.”
Malamnya, Danang berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Hening. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan. “Aku nggak mau kayak anak-anak itu. Aku nggak mau jadi penyesalan buat orang tua.”
Keesokan harinya, Danang bangun lebih pagi. Ia sarapan tanpa terburu-buru, lalu berangkat ke sekolah dengan langkah mantap. Begitu masuk kelas, ia duduk di bangkunya, membuka buku pelajaran—sesuatu yang jarang ia lakukan. Saat Pak Rudi memberi tugas, ia langsung mengerjakannya tanpa protes.
Teman sebangkunya menatap aneh.
“Kamu kenapa, Nang? Biasanya kamu paling males ngerjain beginian.”
Danang hanya tersenyum tipis. “Udah lah, aku mau berubah.”
Hari-hari berikutnya, Danang berjuang melawan rasa malasnya. Setiap kali muncul keinginan untuk bolos, ia kembali mengingat wajah pucat anak yang digiring polisi. Itu cukup membuatnya bertahan.
Beberapa minggu kemudian, Bu Rina memanggilnya seusai pelajaran.
“Danang, Ibu lihat kamu sekarang rajin. Ibu bangga sekali. Pertahankan, ya.”
Ucapan itu membuat dada Danang hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa dihargai karena kebaikannya, bukan kenakalannya.
Sejak saat itu, Danang tidak lagi ingin dikenal sebagai anak pembuat masalah. Ia ingin dikenal sebagai anak yang pernah salah, tapi berani berubah. Dan di setiap langkahnya sekarang, ia mengingat pesan ibunya—jangan bikin malu keluarga, jadilah anak baik.
Berikut 5 pertanyaan reflektif dari cerita Danang tersebut:
1. Apa penyebab utama Danang sering membolos dan melawan gurunya sebelum ia berubah?
2. Bagaimana perasaan Danang saat melihat anak-anak berseragam sekolah dibawa polisi, dan mengapa kejadian itu menjadi titik balik baginya?
3. Apa saja langkah yang diambil Danang untuk memperbaiki dirinya setelah kejadian di taman kota?
4. Menurut kamu, bagaimana peran guru dan keluarga dalam membantu siswa yang ingin berubah menjadi lebih baik?
5. Jika kamu berada di posisi Danang sebelum berubah, keputusan apa yang akan kamu ambil agar tidak terjerumus ke masalah yang sama?
Komentar
Ceritanya sangat memotivasi😊
Storynya itu bagus sekali i like it :)\r\n
Anak yang ingat akan ucapan orang tua...nasehat orang tua...atas ridfo nya dan niat dari diri sendiri akan mengubah s3seorang .seperti Danang.