Di tengah derasnya arus informasi digital, anak-anak muda hari ini hidup dalam banjir kata dan gambar. Namun, tidak semua mampu memilah, memahami, apalagi merefleksikan isi dari informasi yang mereka terima. Literasi, dalam arti sesungguhnya, bukan sekadar membaca kata-kata di layar atau buku, tetapi kemampuan memahami, memaknai, dan mengubah bacaan itu menjadi sikap serta tindakan nyata. Dari kesadaran inilah lahir sebuah program di SMP Negeri 1 Pitu yang diberi nama SPENSATU LITERAKSI, sebuah akronim dari Literasi dan Aksi Inspiratif Siswa.

Esensi dari SPENSATU LITERAKSI sederhana namun mendalam: siswa diajak untuk membaca, menulis refleksi, mendiskusikan hasil bacaan, dan akhirnya melahirkan aksi nyata yang bermanfaat. Literasi tidak berhenti di ruang kelas, melainkan menjelma dalam kehidupan sehari-hari. Bacaan menjadi pemantik bagi lahirnya karya, gagasan, bahkan gerakan kecil yang menginspirasi lingkungan sekitar.

Program ini memiliki empat tujuan utama. Pertama, membudayakan membaca dan menulis sebagai kebiasaan sehari-hari. Anak-anak tidak hanya membaca karena diperintah, tetapi menjadikan membaca sebagai kebutuhan dan kesenangan. Kedua, melatih kemampuan berpikir kritis, reflektif, sekaligus komunikatif. Setiap bacaan bukan hanya dipahami secara pasif, melainkan dicerna,
dikomentari, dan diperdebatkan dalam diskusi kelas. Ketiga, menumbuhkan kreativitas dan kepedulian sosial. Dari sebuah artikel sederhana tentang lingkungan, siswa bisa melahirkan poster kampanye kebersihan, puisi tentang bumi, hingga vlog ajakan menjaga lingkungan sekolah. Keempat, mengintegrasikan literasi dengan pembelajaran lintas mata pelajaran berbasis potensi dan masalah lokal. Artinya, bacaan tidak jauh dari kehidupan mereka: isu pertanian, budaya, maupun lingkungan sekitar bisa dijadikan bahan refleksi.

Seiring waktu, SPENSATU LITERAKSI tidak berhenti pada rutinitas membaca dan menulis. Program ini berkembang dengan berbagai inovasi. Guru-guru lintas mata pelajaran mulai berkolaborasi. Guru bahasa memberi penekanan pada menulis refleksi, guru IPA mengaitkan bacaan dengan isu lingkungan, guru IPS menyoroti dimensi sosial budaya, sementara guru seni mendorong ekspresi kreatif. Literasi pun menjadi milik semua, bukan hanya urusan satu pelajaran.
Selain itu, pemanfaatan teknologi digital menjadi salah satu pengembangan penting. Siswa tidak hanya menulis di kertas, tetapi juga berlatih mengekspresikan ide dalam bentuk digital: vlog literasi, infografis, hingga artikel blog sekolah. Cara ini membuat mereka terbiasa memanfaatkan teknologi secara produktif, bukan sekadar konsumtif.

Masyarakat dan orang tua juga dilibatkan. Bacaan yang dipilih sering kali bersentuhan langsung dengan realitas lokal. Misalnya, ketika membahas pertanian, siswa bisa melengkapi bacaan dengan wawancara bersama petani setempat. Orang tua didorong untuk berbagi pengalaman literasi di rumah. Dengan demikian, literasi menjadi jembatan antara sekolah dengan lingkungan sosial.

Pengembangan lain adalah adanya pameran literasi. Karya-karya siswa, baik berupa tulisan, poster, maupun karya digital, dipamerkan secara berkala. Hal ini bukan hanya ajang apresiasi, tetapi juga sumber motivasi yang membangkitkan semangat siswa lain untuk ikut berkarya. Sekolah berubah menjadi ruang hidup yang penuh dengan ekspresi literasi.

Lebih jauh, SPENSATU LITERAKSI juga diarahkan untuk membentuk delapan profil lulusan yang utuh: keimanan dan ketakwaan, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, serta komunikasi. Bacaan yang bernuansa religius menumbuhkan kesadaran spiritual. Artikel tentang sosial budaya melatih rasa kebangsaan. Diskusi kelas menumbuhkan komunikasi. Karya kreatif memperkuat daya cipta. Bahkan kebiasaan membaca teratur melatih kemandirian sekaligus menyeimbangkan kesehatan mental siswa. Semua ini menjadikan literasi sebagai fondasi bagi tumbuhnya karakter pelajar Pancasila.

Mengapa program ini penting? Karena di zaman sekarang, literasi bukan lagi sekadar kemampuan akademis, melainkan keterampilan hidup. Tanpa kemampuan membaca kritis, anak-anak mudah terjebak dalam hoaks. Tanpa kemampuan menulis reflektif, mereka kehilangan kesempatan menata pikirannya. Tanpa kreativitas, mereka hanya menjadi konsumen informasi, bukan pencipta gagasan. Literasi yang hidup adalah literasi yang melahirkan aksi, dan SPENSATU LITERAKSI mencoba menjembatani itu.

Akhirnya, SPENSATU LITERAKSI bukan hanya sebuah program sekolah. Ia adalah gerakan menuju masa depan. Membaca bukan lagi rutinitas membosankan, tetapi pintu masuk menuju kreativitas, kepedulian, dan perubahan nyata. Dari satu artikel yang dibaca, lahirlah refleksi; dari refleksi, tumbuhlah gagasan; dari gagasan, menjelmalah aksi. Inilah jalan yang ditempuh SMPN 1 Pitu untuk menyiapkan generasi yang cerdas, berbudaya, religius, kreatif, sekaligus peduli pada sesama.

SPENSATU LITERAKSI adalah bukti bahwa literasi bisa mengubah arah hidup. Ia mengajarkan bahwa kata-kata bukan hanya untuk dibaca, melainkan untuk diwujudkan. Di tangan siswa-siswa yang bersemangat, literasi bukan hanya pengetahuan, melainkan sebuah kekuatan untuk bergerak, berkarya, dan memberi makna bagi dunia sekitar.

Jawablah 3 pertanyaan ini di buku literasimu:
1. Dari esai SPENSATU LITERAKSI, menurutmu mengapa membaca penting bagi kehidupanmu sehari-hari?
2. Apa contoh aksi nyata yang bisa kamu lakukan setelah membaca dan membuat refleksi?
3. Bagaimana program SPENSATU LITERAKSI bisa membantumu menjadi pribadi yang lebih baik di sekolah maupun di rumah?