Ingat Madinah ingat madani. Sesuai dengan namanya suasana kota Madinah benar-benar tertata rapi. Tertib dalam segala hal. Dari jalan raya hingga peribadatan. Dari pedagang sampai petugas kebersihan. Sungguh beruntung saya sempat menjadi bagian peradaban madani. Jalan raya yang padat tetapi tidak macet. Tidak terdengar kendaraan mengumbar klakson ingin mendahului. Tidak ada makian sesama pengendara, jika ada yang melakukan kesalahan. Semua sabar menunggu tidak ada yang terburu-buru. Jika terpaksa dua kendaraan bersenggolan, masing-masing pengendara malah saling tersenyum. Terhadap pejalan kaki sangat menghargai. Para pengendara berhenti dengan sopan sambil memberi isarat dengan tangan kanan melambai. Mempersilakan penyeberang jalan untuk lewat. Sungguh mengharukan adab mereka.
Di sebelah kiri hotel tempat saya menginap terdapat restauran Nusantara. Semua pramu saji fasih berbahasa Indonesia, karena memang asli orang Indonesia. Gaya bicaranya luwes terasa menghangatkan. Menu yang saya cari ini dia, bakso panas dan pedas. Minumnya teh susu panas. Untuk melawan pilek yang sudah lama mencengkeram. Semua jamaah terserang pilek, tidak ada yang terlewati. Padahal sebelum berangkat sudah divaksin.
Puas menyantap bakso lalu melenggang keluar sambil menikmati suasana. Saya cari tempat untuk membuang tisu bekas dan botol kosong, namun tak menemukan. Ini membuat saya penasaran. Bagaimana cara menjaga kebersihan, sementara tidak satupun tempat sampah tersedia. Saya sengaja diam dan menunggu datangnya pengetahuan baru. Tidak seberapa lama datang petugas kebersihan berseragam hijau muda. Dia berjalan membawa perlengkapan sapu dan kantong plastik besar. Tepat di depan saya berhenti, mengisaratkan jika ada yang mau dibuang. Spontan botol kosong dan tisu bekas saya masukkan ke kantong plastik yang sudah berisi sampah. Dia melanjutkan berjalan sambil mengambil sampah dari para pejalan kaki lain. Para pejalan kaki ternyata sudah tahu caranya menjaga kebersihan lingkungan. Di salah satu ujung petugas kebersihan itu berbalik arah. Saya mengamati dari kejauhan sampai kembali melintas di depan saya. Dia menatap dan tersenyum ramah, ‘Indonesia’ katanya sambil memberikan jempol. Ternyata tugas dia berpatroli secara periodik memunguti sampah. Sebuah ilmu baru saya dapatkan.
Di hotel seperti biasa makanan begitu melimpah. Jatah dari hotel dan para pesedekah. Sayang jika makanan yang tergolong mewah ini terbuang karena tak termakan. Saya komunikasikan dengan jamaah lain untuk mengatasinya. Diputuskan makanan itu kita sedekahkan kembali. Saat berangkat ke masjid Nabawi sering membawa makanan untuk disedekahkan kepada petugas kebersihan dan anak-anak kecil yang terlihat sendirian di sekitar masjid.
Suasana masjid juga terasa lebih teduh. Pembawaan para jama’ah cukup santai tak satupun terlihat tergesa-gesa. Jauh dari rasa ‘kemrungsung’ ingin mendahului yang lain. Para askar pun tidak ada yang berteriak-teriak dalam memberi petunjuk. Bahkan lambaian tangannya yang ramah penuh kehangatan mengingatkan saya kepada adab Jawa yang andhap asor.
Komentar
Negara jika sdh makmur apalagi itu negara Islam yg islami , segala sesuatu terlihat teratur rapi dan bersih otomatis, tingkat kesadaran masyarakat akan ketertiban juga tinggi.
Hanya membayangkan kpn bisa ke sana. Moga ada umur panjang bisa ku bukti yg lebih nyata. Amin
Madinah, aku rindu