PENGHUNI SEKOLAH (Seuntai Kisah Lama)

Penulis: Fajar Budhianto | 04 May 2025 | Pengunjung: 5
Cover
SMPN 1 Paron terletak di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi. Sekolah ini berada sekitar lima kilometer arah barat daya dari pusat kota. Letaknya sangat strategis, berada di tepi jalan raya yang menghubungkan Kecamatan Paron dan Kota Ngawi. Di sekitar sekolah, terdapat beberapa institusi pendidikan lain. Persis di sebelah utara, terdapat kompleks sekolah yayasan swasta. Disebut kompleks karena terdapat beberapa sekolah dalam satu yayasan, yaitu SMA dan SMK. Bahkan, terdapat perguruan tinggi dalam kompleks tersebut, yakni STITI (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Islam).

Di sebelah utara lagi, tepat di seberang jalan, terdapat MAN 1 Paron (Madrasah Aliyah Negeri). Tidak jauh dari MAN, berdiri MTsN 1 Paron (Madrasah Tsanawiyah Negeri). Karena banyaknya institusi pendidikan di kawasan ini, masyarakat menyebut kawasan tersebut sebagai "lokasi kampus".

Di SMPN 1 Paron inilah saya pertama kali ditempatkan sebagai Guru PNS. Sekolah ini sudah cukup berumur, dan jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di kecamatan yang sama, SMPN 1 Paron merupakan yang terbesar. Saat pertama kali saya datang, bangunannya masih sederhana. Dahulu, sekolah ini merupakan Sekolah Teknik (ST) yang kemudian bertransformasi menjadi SMP seiring perkembangan zaman.

Pada tahun-tahun awal saya mengajar, kegiatan belajar mengajar dilakukan dalam dua gelombang, pagi dan sore, karena keterbatasan ruang kelas. Kelas 1 biasanya mendapatkan jadwal sore. Sebagai guru baru, saya mendapat tugas mengajar kelas 1, otomatis saya harus masuk sore. Hal tersebut sudah menjadi hal biasa kala itu. Di musim kemarau, udara terasa sangat panas dan gerah, sedangkan saat musim hujan, suara hujan sering kali menenggelamkan suara guru. Jika hujan deras disertai pemadaman listrik, maka kegiatan belajar mengajar terpaksa dihentikan, dan kami hanya menunggu hingga bel pulang berbunyi.

Saat itu, saya menjalani tugas sebagai guru belum dengan sepenuh hati. Bahkan, saya merasa terpaksa. Dorongan dari bapak dan saudara-saudaralah yang membuat saya menjalaninya. Mereka berkata, “Dijalani saja dulu, nanti juga akan suka.” Saya pun menurut. Sebulan dua bulan pertama, rasa berat itu masih terus terasa. Sekolah kemudian menugaskan saya sebagai pembina Pramuka. Tugas ini juga saya jalani dengan rasa terpaksa.

Namun, perlahan-lahan saya mulai banyak mendapatkan tugas tambahan seperti mengikuti pelatihan PMR, pelatihan kurikulum, hingga pelatihan senam. Saya juga sering diminta melatih siswa untuk mengikuti lomba, seperti lomba perkemahan, pidato bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Meskipun semua itu saya kerjakan dengan setengah hati, tugas-tugas tersebut tetap saya selesaikan dengan baik.

Setelah tiga tahun mengajar di SMPN 1 Paron dan menikah, saya mulai mencari kegiatan tambahan di luar sekolah. Saya mencoba mengajar di bimbingan belajar (bimbel). Dari tempat inilah saya merasa memperoleh banyak pengalaman dan ilmu baru. Saya merasa semakin pintar dan menguasai materi karena mengajar di bimbel lebih menantang dibandingkan di sekolah. Saya harus terus belajar agar dapat menguasai materi, apalagi saya juga mengajar siswa SMA. Hal itu menambah wawasan dan memperkaya pengalaman saya.

Sekitar lima tahun setelah mengajar di SMPN 1 Paron, dibuka seleksi guru inti. Setiap sekolah diminta mengirimkan seorang guru per mata pelajaran. Saya ditunjuk untuk mengikuti seleksi guru inti Bahasa Inggris. Ada dua aspek penilaian: administrasi dan tes tulis. Dalam seleksi administrasi, saya memperoleh nilai cukup tinggi karena memiliki banyak sertifikat pelatihan yang saya ikuti. Sedangkan dalam tes tulis, nilai saya tertinggi di antara seluruh peserta. Akhirnya, terpilih dua guru inti: saya dan seorang guru senior.

Tugas sebagai guru inti ternyata tidak ringan. Kami harus melatih guru-guru lain se-kabupaten, padahal saya merasa tidak lebih hebat dari mereka. Namun karena hasil seleksi, saya dianggap lebih mumpuni. Maka, saya pun harus belajar lebih giat agar benar-benar menguasai materi. Saya beruntung karena Dinas Pendidikan Provinsi memanggil saya untuk mengikuti diklat peningkatan kompetensi guru. Apa yang saya dapat dari diklat tersebut saya bagikan kepada guru-guru lain.

Salah satu tugas guru inti adalah mengoordinir penyusunan buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Buku ini disusun bersama oleh para guru; satu guru mengerjakan satu bab. Untuk satu jenjang, jika terdapat sepuluh bab, dibutuhkan tiga puluh guru untuk tiga jenjang kelas. Proses ini menyita waktu dan tenaga, karena kemampuan para guru tidak merata. Ada yang menyusun asal-asalan, sehingga saya harus banyak mengedit bahkan mengganti materi. Meski melelahkan, honor sebagai koordinator dan editor cukup lumayan. Namun, penyusunan buku LKS akhirnya dihentikan karena dipermasalahkan—ada tuduhan bahwa penjualan LKS ke siswa mengandung unsur bisnis. Saya pasrah, meski merasa memperoleh banyak pengalaman dari proses tersebut.

Selain LKS, guru inti juga bertugas menyusun soal ujian untuk ujian bersama tingkat kabupaten—baik ujian semester, kenaikan kelas, ujian sekolah, maupun uji coba UN. Tugas ini cukup menguras tenaga dan pikiran. Soal-soal, terutama pilihan ganda, harus disusun dengan cermat. Untungnya saya juga mengajar di bimbel, sehingga saya memiliki banyak referensi soal. Namun lagi-lagi, ada guru yang membuat soal asal-asalan, dan saya harus memperbaikinya. Penunjukan penyusun soal oleh kepala sekolah dilakukan merata, agar semua guru mendapat kesempatan belajar.

Tiga tahun saya menjabat sebagai guru inti, hingga berakhir pada tahun 2003. Setelah itu, peran guru inti digantikan oleh ketua MGMP. Saya tidak mengikuti seleksi ketua MGMP. Namun, kepala sekolah menunjuk saya menjadi Urusan Kesiswaan, meskipun saya masih tergolong guru muda. Barangkali karena beliau melihat keaktifan saya saat menjadi guru inti. Tugas sebagai urusan kesiswaan cukup menantang: mengelola kegiatan ekstrakurikuler, melatih upacara bendera, hingga menangani siswa bermasalah. Tugas ini berat, namun saya memperoleh banyak pengalaman berharga.

Saya juga belajar tentang kerja tim. Dalam setiap kegiatan, diperlukan kerja sama dan kesepakatan. Terkadang muncul perbedaan pendapat yang berujung pada pertengkaran. Sebagai koordinator, saya harus mencari solusi terbaik. Pendekatan personal, memotivasi, dan membangun semangat kerja ikhlas menjadi kunci. Lambat laun, saya mulai menikmati tugas tersebut. Ada kepuasan batin ketika tugas terselesaikan dengan baik. Hubungan saya dengan teman-teman guru dan siswa pun semakin erat.

Setahun kemudian, saya mendapat informasi bahwa STKIP di Ngawi membuka lowongan dosen. Info ini saya peroleh dari teman seangkatan yang sudah menjadi dosen di sana. Saya melamar dan diterima. Menjadi dosen merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Jadwal saya menjadi padat: pagi mengajar di SMP, sore dan malam di bimbel dan kampus. Hampir setiap hari saya pulang sore atau malam. Karena jarak rumah cukup jauh, saya sering membawa baju ganti dan makan siang di sekolah. Karena sering berada di sekolah, teman-teman menjuluki saya "penghuni sekolah".

Mengajar di kampus memberi nuansa berbeda. Mahasiswa bukan lagi anak-anak, namun kebiasaan mengajar ala SMP kadang masih terbawa. Untuk itu, saya lebih banyak mengajak mahasiswa berdiskusi, dan sesekali menyebar angket untuk mengevaluasi diri. Hasilnya membuat saya lega—mereka menerima saya sebagai pengajar.

Menjadi dosen menuntut saya untuk terus belajar. Materi kuliah lebih luas, dan pembelajaran Bahasa Inggris menuntut praktik karena merupakan keterampilan. Saya banyak mengadopsi metode dosen saya dahulu. Untungnya, sebagian besar buku kuliah saya dulu masih tersimpan, karena saat itu e-book dan unduhan belum umum. Mengulang materi kuliah dan mengajarkannya membuat saya lebih memahami isinya dibanding ketika saya masih kuliah dulu. Mungkin inilah makna sejati dari learning by teaching—semakin banyak mengajar, semakin pintar kita.

Komentar

Belum ada komentar.

← Kembali ke Daftar Artikel