Kurikulum Boleh Berganti, Kompetensi Guru Tetap Abadi

Penulis: Fajar Budhianto | 22 Apr 2025 | Pengunjung: 5
Cover
Setiap beberapa tahun, dunia pendidikan Indonesia mengalami perubahan kurikulum. Kita mengenal berbagai nama: Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan kini Kurikulum Merdeka. Setiap perubahan membawa semangat baru, namun juga tak jarang menimbulkan kebingungan di kalangan guru. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa lagi yang harus saya pelajari?” atau “Bisakah saya mengikuti perubahan ini?” muncul dan mengendap dalam hati para pendidik.
Kekhawatiran itu wajar. Sebab setiap perubahan memang menuntut penyesuaian. Namun, yang perlu diingat: pergantian kurikulum bukanlah akhir dunia. Justru, ia adalah bagian dari dinamika pendidikan yang sehat dan perlu. Yang sejatinya menjadi fokus bukan pada seberapa sering kurikulum berganti, melainkan apakah guru sudah benar-benar menguasai kompetensi dasar mereka.
Kurikulum Itu Alat, Bukan Tujuan
Sering kali, kita terjebak pada pemahaman bahwa keberhasilan pembelajaran ditentukan semata-mata oleh jenis kurikulum. Padahal, kurikulum hanyalah alat—ia seperti peta yang memandu perjalanan. Tujuan akhirnya tetap sama: mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk generasi yang berkarakter.
Perubahan kurikulum terjadi karena dunia terus bergerak. Tantangan zaman—seperti digitalisasi, perubahan iklim, dan dinamika sosial-budaya—memaksa sistem pendidikan untuk terus menyesuaikan diri. Maka, kurikulum harus fleksibel, adaptif, dan relevan. Namun, sehebat apa pun sebuah kurikulum, ia tak akan berarti tanpa kehadiran guru yang kompeten.
Guru yang Kompeten Tak Akan Goyah
Apapun nama kurikulumnya, ujung tombaknya tetaplah guru. Guru yang memahami dan menguasai empat kompetensi utama—pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian—akan tetap mampu mengajar secara bermakna dalam kondisi apapun.
Guru yang unggul dalam kompetensi pedagogik tahu bagaimana merancang pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Guru profesional tidak hanya menguasai materi, tetapi juga mampu menjelaskan dengan cara yang mudah dimengerti dan relevan dengan kehidupan siswa. Guru yang baik secara sosial dan kepribadian akan mampu membangun hubungan yang sehat dengan murid dan menjadi teladan bagi mereka.
Guru seperti ini tidak hanya bergantung pada modul atau buku ajar. Ia bisa menciptakan bahan ajarnya sendiri, menggali potensi dari sekitar, dan menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar yang tak terbatas. Di tangan guru yang kompeten, kurikulum apapun bisa diterjemahkan menjadi pengalaman belajar yang menginspirasi.
Belajar Sepanjang Hayat: Kunci Adaptasi
Dunia bergerak cepat—dan guru harus lebih cepat belajar. Guru yang terus membaca, berdiskusi, mengikuti pelatihan, serta rutin merefleksi diri tidak akan mudah panik saat kebijakan berubah. Sebab, bagi mereka, belajar adalah bagian dari napas profesi.
Saya pernah mengenal seorang guru yang telah melewati tiga kurikulum berbeda: KTSP, Kurikulum 2013, dan Kurikulum Merdeka. Ia tidak pernah menolak perubahan. Ia tidak menyalahkan sistem. Ia justru melihat perubahan itu sebagai peluang untuk terus berkembang. Ia yakin bahwa selama dirinya tetap belajar dan mencintai murid-muridnya, ia akan selalu bisa menyesuaikan diri.
Penutup: Guru adalah Nyawa Pendidikan
Kurikulum bisa dibuat sekompleks apapun. Tetapi tanpa guru yang kompeten, semua hanya akan menjadi dokumen yang mati. Maka, alih-alih cemas menghadapi perubahan, marilah kita sibuk memperkuat diri. Meningkatkan kompetensi. Meningkatkan kualitas interaksi dengan murid. Menghidupkan kembali semangat belajar.
Kurikulum boleh berganti, tetapi semangat guru sejati tak akan pernah padam. Karena sejatinya, pendidikan bukan soal dokumen. Ia adalah soal jiwa. Dan guru—adalah nyawa dari pendidikan itu sendiri.

Komentar

Belum ada komentar.

← Kembali ke Daftar Artikel