
Kehidupan manusia tidak selalu berjalan mulus. Dalam setiap langkah, pasti akan ada rintangan, ujian, dan kerikil-kerikil kecil yang terkadang menyakitkan. Namun, apabila kita mampu menyikapinya dengan hati yang lapang dan penuh rasa syukur, kebahagiaan akan lebih mudah tumbuh meski di tengah keterbatasan.
Sayangnya, sifat dasar manusia sering kali tidak pernah merasa cukup. Ketika keinginan belum tercapai secara maksimal, hati menjadi gelisah dan sulit merasa puas. Bahkan ketika seseorang berhasil dalam pekerjaannya dan mendapatkan pujian dari atasan maupun rekan-rekan kerja, pujian tersebut terkadang tanpa sadar menumbuhkan benih kesombongan. Ia mulai merasa paling benar, paling mampu, dan menjadikan dirinya seolah pusat perhatian. Padahal, bisa jadi apa yang dikerjakannya sebenarnya biasa saja. Namun karena banyaknya dukungan dan apresiasi, maka hasil kerjanya terlihat luar biasa.
Sebaliknya, ada juga orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi, dan menunjukkan kinerja luar biasa. Tetapi karena sejak awal tidak disukai oleh sebagian orang, apapun yang dilakukannya akan tetap dipandang salah. Bukan karena mutu kinerjanya, melainkan karena persepsi negatif yang lebih dahulu melekat.
Lalu, timbul sebuah pertanyaan: mengapa penilaian terhadap sesama sering kali didasarkan pada Like and Dislike. Bukankah keadilan seharusnya berpijak pada fakta dan objektivitas, bukan pada rasa pribadi?
Inilah yang menjadi salah satu akar dari ketidakadilan sosial yang sering kita temui—baik dalam lingkungan kerja, kehidupan bermasyarakat, maupun ruang-ruang sosial lainnya. Saat penilaian dan keputusan diambil berdasarkan selera pribadi, bukan kebenaran yang ditegakkan, melainkan kecemburuan dan ketimpangan yang justru diperkuat.
Namun di balik itu, bersyukurlah bagi mereka yang tidak mendapatkan pujian atau keadilan dari manusia. Sebab sering kali ketidakdiakualian itu melatih hati untuk tetap rendah, terus introspeksi, dan menjauhkan diri dari sifat sombong.
Oleh karena itu, siapa pun yang berada dalam posisi pengambil kebijakan—baik sebagai pemimpin, atasan, guru, ataupun tokoh masyarakat—hendaknya menjauhkan sikap teesebut. Jangan jadikan rasa pribadi sebagai dasar dalam menilai dan membuat keputusan. Sebab keputusan yang tidak adil dapat melukai banyak hati, dan kepercayaan yang hilang akan sulit untuk kembali.
Adil dan bijaklah dalam bersikap. Karena keadilan bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi tentang bagaimana kita menghargai sesama manusia secara utuh—tanpa memandang siapa dia, dari mana asalnya, atau seberapa dekat ia dengan kita.
Sayangnya, sifat dasar manusia sering kali tidak pernah merasa cukup. Ketika keinginan belum tercapai secara maksimal, hati menjadi gelisah dan sulit merasa puas. Bahkan ketika seseorang berhasil dalam pekerjaannya dan mendapatkan pujian dari atasan maupun rekan-rekan kerja, pujian tersebut terkadang tanpa sadar menumbuhkan benih kesombongan. Ia mulai merasa paling benar, paling mampu, dan menjadikan dirinya seolah pusat perhatian. Padahal, bisa jadi apa yang dikerjakannya sebenarnya biasa saja. Namun karena banyaknya dukungan dan apresiasi, maka hasil kerjanya terlihat luar biasa.
Sebaliknya, ada juga orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi, dan menunjukkan kinerja luar biasa. Tetapi karena sejak awal tidak disukai oleh sebagian orang, apapun yang dilakukannya akan tetap dipandang salah. Bukan karena mutu kinerjanya, melainkan karena persepsi negatif yang lebih dahulu melekat.
Lalu, timbul sebuah pertanyaan: mengapa penilaian terhadap sesama sering kali didasarkan pada Like and Dislike. Bukankah keadilan seharusnya berpijak pada fakta dan objektivitas, bukan pada rasa pribadi?
Inilah yang menjadi salah satu akar dari ketidakadilan sosial yang sering kita temui—baik dalam lingkungan kerja, kehidupan bermasyarakat, maupun ruang-ruang sosial lainnya. Saat penilaian dan keputusan diambil berdasarkan selera pribadi, bukan kebenaran yang ditegakkan, melainkan kecemburuan dan ketimpangan yang justru diperkuat.
Namun di balik itu, bersyukurlah bagi mereka yang tidak mendapatkan pujian atau keadilan dari manusia. Sebab sering kali ketidakdiakualian itu melatih hati untuk tetap rendah, terus introspeksi, dan menjauhkan diri dari sifat sombong.
Oleh karena itu, siapa pun yang berada dalam posisi pengambil kebijakan—baik sebagai pemimpin, atasan, guru, ataupun tokoh masyarakat—hendaknya menjauhkan sikap teesebut. Jangan jadikan rasa pribadi sebagai dasar dalam menilai dan membuat keputusan. Sebab keputusan yang tidak adil dapat melukai banyak hati, dan kepercayaan yang hilang akan sulit untuk kembali.
Adil dan bijaklah dalam bersikap. Karena keadilan bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi tentang bagaimana kita menghargai sesama manusia secara utuh—tanpa memandang siapa dia, dari mana asalnya, atau seberapa dekat ia dengan kita.